TRANSFORMASI WAJAH KRL DAN HAMBATAN
Barangkali masih lekat dalam ingatan kita saat penumpang kereta rel listrik (KRL) berebut naik ke atap kereta. Itu pemandangan mengerikan yang terjadi bertahun-tahun lamanya. Tak hanya itu, ingatkah Anda ketika penumpang dengan bebasnya bisa membeli gorengan atau sekadar membeli penjepit rambut dari dalam gerbong kereta? Ada pula pengamen yang memainkan gitar dan bernyanyi dari gerbong satu ke gerbong lainnya ketika itu. Kini, suasana semacam itu tak lagi terasa. PT Kereta Api Indonesia yang menginjak usia 72 tahun pada 28 September 2017 telah membenahi pelayanan KRL secara bertahap. PT KAI menghadirkan layanan KRL commuter line yang semua gerbongnya dilengkapi pendingin ruangan dan kursi yang empuk. Sistem pembelian tiket juga tak lagi menggunakan kertas. Tak dapat dipungkiri, KRL merupakan transportasi massal yang menjadi andalan warga di Jabodetabek. Seperti apa tahap demi tahap perubahan yang terjadi dalam layanan KRL Jabodetabek? Mari ikut perubahan wajah KRL dari masa ke masa.

Stasiun I: Kereta pada Masa Lampau
TAHUN 1925
Kereta api dengan lokomotif listrik pertama buatan Belanda mulai beroperasi di Jakarta pada 1925 sampai 1976. Lokomotif listrik ini bernama Electrische Staats Spoorwegen (ESS) atau Lokomotif Djokotop. Kereta tersebut juga dikenal dengan nama Lokomotif Bonbon.
Saat ini Lokomotif Djokotop dipelihara di Balai Yasa Manggarai, Jakarta Selatan, dan hanya difungsikan untuk kegiatan tertentu. Sistem perkeretaapian pada tahun 1925 menjadi cikal bakal perkembangan KRL hingga saat ini. Sejak tahun 1925, elektrifikasi jalur kereta api mulai dibangun di Jabodetabek.
TAHUN 1976


Kereta lokomotif listrik digantikan KRL dari Jepang.

TAHUN 1976 - 2006
Para penumpang masih naik ke atas atap KRL ekonomi. Mereka berebut memanjat ke atap gerbong lewat jendela. Pedagang juga bebas berjualan di dalam gerbong kereta.

TAHUN 1976 - 2013
Kondisi peron di sejumlah stasiun yang masih dipenuhi pedagang. Para pedagang bebas berjualan, bahkan menggelar pasar tumpah di bantaran rel.

Stasiun II: PERUBAHAN WAJAH KERETA DAN STASIUN
23 Maret 2009: Pembenahan layanan KRL Jabodetabek diawali dengan pembelian 8 unit kereta AC pertama seri 8500 yang kemudian dibentuk menjadi satu rangkaian KRL. Saat itu, rangkaian KRL pertama ini dikenal dengan nama Jalita, akronim dari Jalan-jalan Lintas Jakarta.

19 Mei 2009: PT KAI membentuk anak perusahaan yang khusus mengoperasikan KRL AC. Anak perusahaan ini diberi nama PT KAI Commuter Jabodetabek atau KCJ. Tahun 2017, KCJ berganti nama menjadi PT KAI Commuter Indonesia (PT KCI).

2 Juli 2011: Pola single operation mulai diterapkan. Pada pola ini, semua KRL AC, termasuk KRL ekspress mulai dilebur menjadi satu layanan yang diberi nama KRL commuter line.
KRL commuter line wajib berhenti di setiap stasiun. Sebelum pola ini diterapkan, KRL ekspress hanya berhenti di beberapa stasiun.

5 Desember 2011: Pola operasi loop line mulai diterapkan. Pada pola ini terdapat penyederhanaan rute KRL dan mulai diterapkannya sistem transit.
Dengan diterapkannya pola operasi loop line ini, tidak ada lagi KRL dari Bogor yang langsung ke Tangerang, ataupun KRL dari Serpong yang langsung ke Bekasi.

Desember 2012: Mulai dilakukan penertiban terhadap keberadaan kios-kios pedagang liar di area stasiun, baik di peron maupun halaman stasiun. Penertiban yang dilakukan secara bertahap di seluruh stasiun di wilayah Jabodetabek ini tercatat berlangsung hingga pertengahan 2013.

25 Juli 2013: Layanan KRL ekonomi di semua relasi dihapuskan sehingga seluruh perjalanan KRL di wilayah Jabodetabek dilayani oleh KRL commuter line. Seiring “hilangnya” KRL ekonomi, penumpang pun tak ada lagi yang naik ke atap kereta.


Stasiun III: Perubahan layanan tiket

1 Juli 2013: PT KCJ menerapkan sistem tiket elektronik. Tiket elektronik ini menggantikan tiket kertas yang sebelumnya digunakan.
Ada dua jenis tiket elektronik, yakni kartu single-trip untuk satu kali perjalanan dan kartu multi-trip (KMT) yang dapat digunakan untuk beberapa perjalanan selama saldo mencukupi.

22 Agustus 2013: PT KCJ memberlakukan uang jaminan Rp 5.000 pada kartu single-trip. Hal ini dilakukan menyusul banyaknya kartu single-trip yang tidak dikembalikan sehingga membuat PT KCJ merugi.Penerapan uang jaminan juga membuat istilah kartu single-trip diubah menjadi tiket harian berjaminan atau THB.

September 2015: PT KCJ mulai mengembangkan jenis tiket yang biasa digunakan pelanggan. Tidak hanya kartu, tiket juga berbentuk gelang, stiker, dan gantungan kunci.

Januari 2016: PT KCJ menyediakan vending machine untuk mengurangi transaksi di loket. Dengan adanya mesin ini, penumpang bisa membeli tiket secara mandiri. Mesin ini dapat melayani semua transaksi, mulai dari pengisian saldo KMT, pembelian, dan pengembalian THB.

Stasiun IV: Pengembangan Kereta

Januari 2016: Integrasi KRL dengan layanan bus transjakarta diawali di Stasiun Tebet, Manggarai, dan Palmerah. Dengan begitu, penumpang bisa naik transjakarta untuk menuju stasiun tersebut.

2020: Rencananya, pemerintah akan mengembangkan sistem transit oriented development (TOD). KRL akan terintegrasi dengan moda transportasi lainnya yang berbasis kereta, yakni MRT, LRT, dan kereta bandara. Selain itu, KRL terintegrasi dengan transjakarta.
 

 HAMBATAN

Sepertinya perubahan terus menuntut manusia kearah yang lebih cepat. Dulu kereta api terutama KRL mungkin menjadi transportasi yang kumuh dan kotor. Namun saat ini semua sudah berubah. Sejak Pak Jonan masuk, perubahan radikal dilakukan di sana sini termasuk pada pola manajemen waktu dan kinerja. Semua sepertinya terukur dan terekam dengan data atau monitoring.
Mulai pelayanan pelanggan sampai pemeliharaan armada menjadi terkontrol dan termonitor. Muai dari pelanggan kereta sampai pegawai outsource semua memiliki semangat melayani. Perubahan budaya perusahaan setidaknya dapat dikatakan berhasil. Namun tantangan tidak berhenti disini, harapan pelanggan yang semaikin hari berubah dan menuntut yang lebih baik, bisa jadi batu sandungan bagi manajemen KRL itu sendiri.
Perbaikan memang telah dilakukan baik dari sarana mupun prasarana. Kembali kepada esensi layanan transportasi yakni mengantarkan orang dari satu tempat ke tempat lain dengan perhitungan waktu yang baik dan layak. Esensi layanan transportasi ini seharusnya membuat manajemen KRL lebih fokus kepada hal ini, capaian penumpang yang signifikan dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa KRL menjadi salah satu pilihan masyarakat.
Fokus kepada intensitas armada KRL, ketepatan waktu dan kenyamanan pada saat berada di KRL adalah hal yang seharusnya menjadi perhatian. Bagaiamana KRL setiap mungkin 3-5 menit sekali hadir, dengan jadwal yang tepat dan nyaman pada saat didalam KRL adalah fokus yang harus dituju. Kenyataan yang terjadi saat ini, intensitas armada KRL masih belum dapat dipastikan, ketepatan waktu juga masih sering menjadi kendala apalagi berbicara kenyamanan penumpang didalam kereta terutama pada jam sibuk seolah --olah menjadi pilihan keterpaksaan seseorang untuk naik KRL.
Bukan berarti perbaikan prasarana tidak penting namun alangkah baiknya apabila semua energi dan pikiran diarahkan kepada bagaimana esensi arti layanan transportasi diatas dapat terjawab disamping tentunya pasti ada kendala yang dihadapi.
Untuk 5-10 tahun mendatang mungkin KRL masih menjadi pilihan namun lihat perkembangan teknologi begitu pesatnya, KRL mungkin tidak akan bersaing dengan perusahaan KRL swasta ( karena memang tidak ada) namun harus bersaing dengan moda transportasi lain yang saat ini sedang memikirkan bagaimana mengalihkan pilihan orang dari KRL menuju moda transportasi lain atau dengan kata lain merebut pilihan penumpang tersebut.
Setidaknya bagi perusahaan yang telah matang kadang terlena dengan hal mungkin diluar bidang bisnisnya namun cenderung lalai terhadap layanan utama perusahaan itu ada, atau terlalu fokus pada nilai tambah namun melupakan manfaat/esensi keberadaan produk itu sendiri. Semoga bermanafaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Ekonomi Koperasi 1

MATERI SOFTSKILL BAHASA INGGRIS PREPOSITION

TUGAS PENGANTAR ILMU BUDAYA